Selasa, 23 September 2014

Cinta Saya Untuk SMANKAL

Selasa, 23 September 2014
Dulu saya bersekolah di SMA Negeri 1 Kalisat, biasa disingkat SMANKAL. Saya lulus tahun 2010 dan menjadi angkatan pertama di Organisasi Pencinta Alam EXPA, bersama kakak kelas yang satu tahun di atas saya. Jadi angkatan satu EXPA adalah teman-teman SMA Negeri 1 Kalisat lulusan tahun 2009 dan 2010.


Alamat SMA Negeri 1 Kalisat ada di Jalan KH. Dewantara No. 42 Kalisat, Jember. Lokasinya bisa dibilang dekat dengan Stasiun Kalisat. Di sana ada banyak kenangan yang tertinggal. Cinta saya untuk SMA Negeri 1 Kalisat.

Kamis, 11 September 2014

Kolbut: Tak Semudah Mengupas Kulit Kacang

Kamis, 11 September 2014
Aku tahu, cinta yang putus di tengah jalan adalah sebuah penderitaan terbesar yang mampu mencabik-cabik perasaan orang. Dulu aku pernah bertanya pada seorang sahabat, "Apakah kau pernah mengalami penderitaan sepahit itu?" Tak kusangka, kini pertanyaan itu harus aku lontarkan kepada diriku sendiri.

Kata Anief, suasana hati sepahit ini namanya Kolbut.


Kolbut itu apa ya? Sulit menjelaskan dalam bahasa Indonesia. Barangkali arti kolbut sama dengan, tak semudah mengupas kulit kacang.

Selasa, 09 September 2014

Hai Gadis Apache

Selasa, 09 September 2014
Aku masih mengingatnya. Ini tentang hari itu, saat moncong-moncong kamera menyantap para defile di puncak acara Jember Fashion Carvanal, 24 Agustus 2014. Diantara kerumunan orang-orang, aku mencari wajahmu. Aku bayangkan bagaimana cara kau berjalan, apakah serupa dengan gadis-gadis Apache?

Berdiri tak jauh dariku, ada penonton dari luar kota yang masih saja mendecaki tampilan defile Mahabharata. Ia sengaja ditampilkan untuk menandai puncak penampilan akbar ajang Jember Fashion Carnaval tahun ini. Aku tak peduli. Aku tidak bersedia untuk mendengar ocehan tentang Mahabharata sebab aku hanya ingin melihat wajahmu. Sayang, apa kau baik-baik saja?

Selain Mahabarata, JFC ke-13 ini juga turut menghadirkan tema --kostum-- tentang Borobudur, Tambora, Phoenix, Wild Deer, Stalagmite, Flying Kite, Pine Forest, Chemistry, serta Apache. Dan kau memilih yang terakhir. Apache.

Beberapa hari sebelumnya saat kau sibuk memikirkan kostum yang kau pesan pada Om Ivan, aku sedang membuka-buka beberapa literatur tentang Apache. Sebab aku menyayangimu maka aku ingin memahami segala hal yang kau sukai. Dalam salah satu sumber dikisahkan bahwa Apache adalah nama kolektif untuk sejumlah masyarakat budaya di Amerika Utara. Mereka bertutur dalam bahasa yang sama.

Kau bilang, "Kalau di sini, Apache adalah brand sebuah rokok." Aku tersenyum mendengarnya.

Disebutkan dalam literatur yang berbeda bahwa kelompok-kelompok utama dalam suku Apache adalah Arivaipa, Chiricahua, Coyotero, Faraone Gileno, Llanero, Mescalero, Mimbreno, Mogollon, Naisha, Tchikun dan Tchishi. Kabarnya mereka adalah suku-suku yang kuat dan memimpin sejumlah pertempuran.

Gara-gara mencari tahu tentang Apache, aku jadi mengenal seorang tokoh bernama Geronimo. Ia lahir di No-doyohn Canon, Arizona, pada Juni 1829 sebagai seorang Indian Apache. Pada tahun 1905, di usianya yang ke-76, Geronimo pernah berkata pada bangsa kulit putih.

"Kami tidak pernah meminta semua tanah yang pada awal adalah milik kami, kami hanya ingin kembali ketanah indah dimana kami bisa bercocok tanam. Tidak ada tanah seperti Arizona."

Geronimo mengatakan itu di sebuah penjara tempat ia ditahan. Penjara tersebut bernama Fort Sill Military reservation, bertempat di Oklahoma, Amerika Serikat.

Empat tahun setelah mengatakan itu, Geronimo meninggal dunia karena sakit pneumonia. Ia tidak dimakamkan di tanah yang diperjuangkan dan diimpikannya, Arizona. Mungkin Geronimo akan sedih, sebab bagi para pejuang Indian Apache, mereka menganggap tanah adalah wanita. Itulah sebabnya bagi orang Apache, bumi adalah Ibu.

Tentu aku suka pada cara orang Apache dalam memperlakukan bumi. Mereka pencinta alam tanpa scraft. Thank's Geronimo, senang mengenal sekelumit kehidupanmu.

Aku membaca perihal penelitian Goodwin tentang kebudayaan orang Apache. Menurutnya, rata-rata perempuan Apache tidak merasa senang jika suaminya mengambil istri lain. Jika sang suami membawa istri baru, suasana di dalam tenda tak akan pernah sama lagi.

Sayang, jika kau memberiku segenggam kepercayaan, sudah pasti aku akan menjaganya. Semua hanya agar tenda rumah tangga kita senantiasa mesra.



Hai gadis Apache, ingatkah kau saat kalender menunjukkan tanggal 9 Agustus 2014? Ketika itu grand penjurian JFC sedang berlangsung. Kari Kecingkul telah menyiapkan empat kostum bertema Triangle Dynamic In Harmony, satu diantaranya adalah kostum Apache yang kua gunakan. Dalam diam, kau kudoakan.

Lalu hari bersejarah itu pun tiba. Minggu, 31 Agustus 2014. Ada kabar bahagia. Kostum Apache yang kau gunakan mendapat anugerah The Best Unique Costum di JFC ke-13. Ini penghujung Agustus yang ceria. Di mulai dari malam harinya, saat kita beramai-ramai 'menyiksa' Wahyu Muhammad Arif. Sehari sebelumnya ia merayakan hari lahir, bersamaan dengan Karnaval Umum di Kalisat.

Kau tampak senang sekali sepulang dari JFCC dan membawa sebuah piala. Saat Om Ivan bilang itu bukan piala tapi hanya kayu, kau cemberut. Aku tersenyum memandang wajahmu yang unyu.

Kebahagiaanmu semakin bertambah saat malam harinya keluarga tamasya mengajakmu on air via telepon di acara mingguan mereka di Prosatu RRI Jember. Nama acaranya, Cangkruk'an Lewat Botol Kosong, biasa disingkat CLBK. Waktu itu kita mendengarkan ramai-ramai di rumah Om Bajil. Ada Om Anes juga di sana. Untuk memperjelas, suara radio kita sambungkan pada sound system.

Etty Dharmiyatie, penyiar radio Prosatu yang mengampu acara CLBK on air, ia menanyaimu. "Kelas berapa?" Kau menjawabnya mantap. Kelas tiga es em a di SMAN 1 Kalisat. Lalu kau juga ditanyai tentang bagaimana support pihak sekolah? Kau bilang, SMAN 1 Kalisat mengeluarkan 5 defile, masing-masing mendapat dana pembuatan kostum sebesar 2 juta rupiah. Jadi, total dana dari sekolah untuk JFC adalah 10 juta rupiah.

Di sampingmu ada Vivi dan Yuni. Kalian ada di kamar Uti, berharap suara-suara motor yang lalu lalang di depan rumah tak masuk ke dalam telepon. Kadang kalian cekikikan. Suasana yang sepele, namun aku suka mengenangnya. Setidaknya hari ini aku sedang mengenangnya.

CLBK on air edisi 31 Agustus 2014 adalah sebuah kenangan.

Tuhan Maha membolak-balikkan hati. Tiba-tiba kau meminta sesuatu yang sulit aku penuhi.

Hai gadis Apache. Aku masih mengingatnya. Tentu saja aku sulit melupakan hari itu, 3 September 2014.

Kemudian semua berakhir. Kita peggek.

Seharusnya ini adalah bulan yang ceria, seperti judul lagu yang dinyanyikan oleh Vina Panduwinata di tahun 1982. September ceria. Namun kita punya kisah yang tak sama dengan judul lagu jadul itu.

Aku terluka di bulan sembilan. Lalu aku mengobati luka itu dengan menghibur diri. Hari ini, aku membeli sebuah Advan warna putih seharga 650 ribu rupiah. Setelah itu tak ada lagi uang di kantong, bahkan untuk membeli sebungkus toppas filter pun aku tak mampu. Namun aku bahagia.

Dirgahayu EXPA

Senin, 08 September 2014

Sepatu PDL dan Nyokot Lombok

Senin, 08 September 2014
Ini tulisan kedua di hari yang sama. Tidak apa-apalah, aku sekedar memenuhi hasrat untuk belajar menulis. Apa jadinya peradaban manusia jika tak ada catatan-catatan? Tentu tak akan ada sejarah, sebab sejarah adalah tentang kejadian masa lalu yang tercatat. Jika tidak, ia hanya akan bernama prasejarah.

Aku tidak sedang ingin melanjutkan kisah hari ini tentang Relokasi Pasar Tanjung oleh pihak Pemkab Jember. Ini tentang sepatu PDL. Namun repot juga, toh akhirnya nyerempet-nyerempet juga pada kejadian hari ini.

Jadi ceritanya, kami sedang cangkruk'an di kediaman Om Bajil. Ada Mbak Zuhana Anibuddin Zuhro, Masbro RZ Hakim, serta dua temannya dari InfiniTeam Jember Bike. Mereka adalah Didin dan Roby. Dua hari lalu Didin dan Roby juga turut menyemarakkan acara Gertak di Kalisat.

Waktu itu Om Bajil sedang ada di rumahnya Ji Wiwit. Saat pulang, ia membawa sebuah tas kresek warna hitam berisi sepatu PDL. Titipan dari Ji Wiwit untuk Masbro. Masbro tampak senang. Sambil tersenyum ia bilang begini;

"Waduh, aku koyok petugas sing me-relokasi sar tanjung yo nek nggawe PDL."

Kami semua tertawa. Tentu saja Masbro sedang bercanda. Namun ketika melihat Facebook baru miliknya, rupanya ia telah membagikan sebuah foto milik seseorang dengan nama Facebook Ratt Maniese. Kata Masbro, Ratt Maniese juga salah satu pemilik lapak di Pasar Tanjung. Lapaknya ada di dalam areal pasar, lantai satu. Sudah pasti tidak turut direlokasi.

Ohya, ini dia fotonya. Hasil jepretan Ratt Maniese. Menggambarkan tentang persiapan dari para petugas gabungan Satpol PP, Polisi, dan TNI, ketika hendak melakukan penertiban lapak-lapak di areal sekitar Pasar Tanjung.


Senin pagi, 8 September 2014

Sebenarnya, hanya itu cerita tentang sepatu PDL. Ada cerita lain yang ingin aku tuliskan. Ini tentang Anief. Beberapa saat setelah Om Bajil datang, ia juga datang. Kan waktu itu ada jajanan hongkong di meja ruang tamu. Hongkongnya beli di depan Gaden Kalisat, masih hangat. Ketika Anief datang, si Roby anak InfiniTeam Jember Bike, tiba-tiba ia nyokot lombok dan kepedasan. Ada apa ya?

Anief tersipu saat digojloki. Kesempatan. Aku menodongnya untuk mau mengantarku ke rumah si gadis Apache.

Pasar Tanjung dan Tentang Mengenang Dirimu

PASAR TANJUNG -- Orang-orang sedang sibuk membicarakan perihal relokasi Pasar Tanjung, sebuah pasar tradisional yang letaknya ada di jantung Kabupaten Jember. Ada yang mengelus dada, tak sedikit yang mendukung kebijakan relokasi ini.

Memang, sebelum ada pembongkaran lapak-lapak pedagang di sekitar Pasar Tanjung yang berada di Jalan Samanhudi, Jalan Untung Suropati, dan Jalan Dr Wahidin, sudah ada pemberitahuan. Di beberapa titik terdapat setidaknya dua spanduk rentang. Spanduk itu bertuliskan seperti ini;

Pedagang kaki lima dilarang...!!!

Berjualan di trotoar, bahu jalan, badan jalan dan fasilitas umum lainnya. Batas waktu mengosongkan tempat berjualan adalah tgl 7 September 2014.

Tempat relokasi yang disediakan adalah:

1. Pasar Tegal Besar
2. Pasar Sukorejo
3. Pasar Burung
4. Pasar Bungur
5. Pasar Gebang
6. Pasar Kreyongan.

Menurut Kepala Satpol PP Jember, M. Suryadi, pihaknya telah memberikan surat peringatan hingga tiga kali kepada para pedagang di sekitar Pasar Tanjung dengan batas waktu hingga 7 September 2014.

Hari ini, ketika orang-orang di beberapa warung kopi masih sibuk memperbincangkan masalah relokasi itu, aku sibuk memikirkanmu. Sedang apa kau di sana? Apa kau baik-baik saja?

Lamunanku sedikit terganggu manakala di dekatku ada orang yang mendiskusikan tentang artikel yang ia baca di sebuah portal online. Ia bilang, menurut Ayub Junaidi, Pimpinan Sementara DPRD Jember, konsep penertiban PKL oleh Pemkab Jember dirasa belum matang. Setidaknya, masih kalah humanis dengan apa yang sudah dilakukan Kabupaten sebelah, Banyuwangi.

Lapak relokasi --di Pasar yang baru-- dijanjikan berukuran 3 x 3 meter. Namun pada akhirnya ukuran tersebut berubah menjadi 2 x 2 meter persegi. Tentu ini akan menjadi potensi konflik horisontal antar sesama pedagang jika tidak ada kesamaan ukuran lapak. Ini tentang ketidakadilan di bidang ukuran lapak.

Itu masih urusan lapak, bagaimana jika urusan hati? Tidakkah kau pernah berpikir bahwa apa yang kau lakukan padaku adalah sebuah relokasi cinta? Kau mencampakkanku hanya untuk menghadirkan yang baru. Ah!

Di sebuah portal berita online, ada sebuah gambar yang menampilkan anak-anak pelajar. Mereka melakukan demonstrasi menolak relokasi. Mereka berseragam atasan putih dan bawahan hijau tua. Ada spanduk rentang yang mereka centangkan lebar-lebar. Bunyinya;

Tolong Pak....!!!
Jangan Relokasi Kami
Kami butuh makan
Butuh biaya sekolah anak-anak kami
Sobung Se Gratis.

Ada yang menarik dari spanduk rentang itu. Tidak lain ialah sebuah kalimat pendek, sobung se gratis. Kehidupan hari ini selalu diukur dengan uang. Sesuatu yang menyebalkan namun diamini secara massal.

Hai, semoga kau tidak mengukur kenangan-kenangan kita dengan uang, uang, dan uang. Namun jika itu yang kau lakukan, tidak apa-apa. Aku akan melangkah pulang tanpa dendam.

Hari ini, sekitar 700 orang petugas gabungan polisi, Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jember, dan TNI bergerak sekitar pukul delapan pagi ke sekitaran Pasar Tanjung. Mereka langsung mengepung Jalan Untung Suropati dan Jalan Dokter Wahidin yang selama ini menjadi sentra PKL. Ratusan lapak dibongkar paksa tanpa perlawanan berarti. Ketika mereka sedang sibuk membongkar lapak-lapak itu, aku sedang mengenang dirimu.
congoco © 2014